Info Sate Klathak Wonokromo
Prolog
Sate Klathak Wonokromo, Selalu ada kabar gembira berasal dari kepulan asap, bunyi kratak-kratak dan bau gurih daging kambing muda tanpa lemak yang terbakar. Tukang sate yang tengah mengipas anglo tanah liat atau tempat pembakaran, berwajah cerah. Sebab setiap tusuk sate yang penusuknya terdiri dari deruji sepeda berarti rupiah. Setiap beberapa tusuk daging kambing matang atau setengah matang disajikan ke pembeli yang tengah bermimpi merasakan lezatnya hidangan sate, berarti jumlah rupiah makin bertambah.
Sebenarnya bukan semata jumlah rupiah yang makin bertambah, menyusul susutnya persediaan daging kambing yang telah diiris rapi siap ditusuk dan dibakar, tetapi melimpahnya rasa syukur kepada Tuhan oleh penjual Sate Klathak Wonokromo karena telah melahirkan dan mengutus hambanya bernama Mbah Ambyah yang telah merintis usaha Sate Klathak sejak tahun 1940. Ketika ilmu memanggang Sate Klathak yang dimiliki Mbah Ambyah kemudian diturunkan kepada anak cucu, buyut dan cicitnya melahirkan puluhan penjual Sate Klathak di sepanjang jalan Imogiri Timur Yogyakarta, merambah ke jalan Jejeran menuju Stadion Sultan Agung dan lokasi lain, maka yang sesungguhnya terjadi adalah Mbah Ambyah telah mewariskan amal jariyah yang pahalanya tidak terputus menyirami kubur Mbah Amyah dengan berokah dan pahala keutamaan. Mbah Ambyah dan isterinya, menurut catatan keluarga, memiliki banyak anak. Merekalah yang melestarikan Sate Klathak bersama dengan warga desa yang kemudian tertarik membuka warung Sate Klathak menjaga amal jariyah ekonomi sehingga makin lama Sate Klathak makin terkenal, menasional bahkan bisa mendunia. Semoga demikianlah adanya, Aamin.
Persoalan barokah dan amal jariyah yang mengalir pada diri Mbah Ambyah dan kemudian mengalir kepada anak keturunannya, bahkan kepada para tetangga serta kenalan yang bergelut dengan Sate Klathak ini penting untuk disebut. Sebab pada masyarakat mutakhir seperti sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari yang serba rasional dan teknologis manusia hanya berpikir tentang manfaat, nikmat dan profit atau yang dalam bahasa Jawa disebut bathi. Sesuatu yang ada di balik manfaat, nikmat, profit jarang disebut dan disadari adanya. Mereka hanya memburu manfaat (ekonomi), memburu nikmat (lidah dan tubuh) dan profit atau keuntungan duniawi. Mereka kehilangan hubungan dengan apa yang disebut pahala, nilai barokah dan makna dari tindakan dan perbuatanya. Seorang kiai yang sekaligus seorang wali dari Wonokromo pernah berkata bahwa segala sesuatu kalau dikemonah atau dimenej dengan baik akan mbarokahi dan ngrejekeni, termasuk Sate Klathak yang kalau dimenej dengan baik juga akan mbarokahi dan ngrejekeni.
Dalam konteks makin ramainya pasar kuliner dan pasar wisata yang menjadikan Sate Klathak Wonokromo menjadi primadona, insya Allah yang terjadi adalah tetap hadirnya semangat ibadah para penjual sate sebagai bagian dari ekspresi beragama yang dewasa. Para aktivis Sate Klathak Wonokromo insya Allah tetap menyadari, memahami dan bersyukur dengan hadirnya barokah yang menghasilkan keutamaan rejeki dan amal jariyah yang menghasilkan mata rantai pahala ketika mereka beraktivitas mulai memilih kambing muda, menyembelih, menguliti, memilih daging tanpa lemak dan mengiris dengan format lebih besar dari irisan sate daging biasa, kemudian menusuknya dengan jeruji sepeda, membumbui dengan garam, menyalakan arang dan mulai memanggang daging kambing itu. Sementaa pembantunya, memasak sayur santan encer untuk penyedap, memasak nasi, dan menyiapkan kecap, serbuk mrica, irisan brambang dan lombok disajikan bagi yang memerlukan. Menjerang air untuk disedu menjadi wedang teh, menyiapkan gula batu dan jeruk, tidak lupa membersihkan kaleng kerupuk. Mereka juga menyadari apa yang mereka lakukan adalah ibadah, ibadah muamalah sehari-hari.
Kegiatan menjual Sate Klathak kemudian terasa betul-betul mbarokahi dan ngrejekeni ketika sebagian dari hasil penjualan Sate Klathak dialirkan ke masyarakat dalam bentuk amal sosial dan untuk membiayai kegiatan keagamaan, termasuk pengajian dan kegiatan relijius kultural khas Wonokromo.
Matarantai manfaat dan matarantai pahala ini yang kemudian secara fungsional terbentuk pada saat menjual Sate Klathak dan saat pasca penjualan Sate Klathak berlangsung.
Dalam suasana dan ekosistem usaha Sate Klathak yang demikian, yang hidup dan disadari bukan hanya soal harga Sate Klathak yang diukur dari banyaknya rupiah yang masuk ke dompet aktivis Sate Klathak, tetapi juga disadari dan dipentingkannya soal nilai. Nilai sebuah usaha Sate Klathak bagi kesejahteraan warga Wonokromo dan bagi warga masyarakat pada umumnya. Termasuk nilai kesehatan.
Selain itu juga hadir makna-makna utama kehidupan yang menyertai. Antara lain makna relijius bahwa yang dilakukan oleh penjual Sate Klathak dan keluarganya sesungguhnya tengah ‘mengkholifahi’ kambing dan bumi. Ini merupakan tugas kemanusiaan sejak Nabi Adam turun ke bumi. Memakmurkan bumi dengan mendayagunakan para peternak kambing, petani padi, pemanjat kelapa, pembuat garam, petani sayur dan bumbu, pembuat anglo, pembuat arang, pembuat kipas bambu yang ada di desa-desa. Mereka tengah menjalankan tugas kehidupan sebagaimana dinarasikan dalam kitab suci Al Qur’an surat An Nahl bahwa binatang ternak (al an’am) bisa diambil manfaatnya menjadi kendaraan, diambil manfaat susunya, dimakan dagingnya dan dipergunakan untuk keperluan lain bulu-bulu dan kulitnya.
Dalam hal ini, masyarakat santri seperti masyarakat Wonokromo memilih makanan bergizi termasuk memilih kambing untuk dijadikan sate, tentu juga dijadikan gulai dan tongseng jeroan dan bagian tubuh kambing lainnya adalah bagian dari mengamalkan ayat suci Al Qur’an. Dalam surat ‘Abasa disebutkan bahwa hendaknya manusia memperhatikan dan menalar apa yang mereka makan. Apalagi ayat-ayat awal pada surat Al Maidah (al maidah artinya hidangan) disebutkan perlunya manusia memperhatikan kehalalan makanannya. Dalam bagian awal surat Al Isra’ malah disebutkan bahwa menyebut nama Allah saat menyembelih hewan ternak adalah wajib untuk membuat statusnya menjadi halal. Di dalam ayat itu disebutkan bahwa menyembelih hewan ternak dengan menyabut nama selain Allah membuat daging hasil penyembelihannya menjadi haram. Tentu dalam hal ini para penjual Sate Klathak Wonokromo ketika menyembelih kambing disertai doa dengan menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala.
Dengan demikian sesungguhnya satu tusuk Sate Klathak pada hakekatnya bukan sekadar benda ekonomi dan benda bergizi secara kesehatan saja, akan tetapi satu tusuk Sate Klathak memiliki nilai sebagai benda spiritual, dan memiliki makna bahkan posisi dalam kehidupan yang lebih luas dan lebih mendalam dan lebih tinggi dibanding itu. Satu tusuk Sate Klathak, apalagi kalau banyak tusuk atau ribuan tusuk seperti yang pernah disajikan oleh Fakultas Peternakan UGM ketika memperoleh Penghargaan MURI pada tahun-tahun sebelum pandemi, memiliki nilai budaya yang tinggi dan bermakna sosial secara luas serta berada pada posisi terhormat pada kehidupan manusia. Oleh karena itu wajar kalau Sate Klathak mendapat pengakuan dan penghargaan dari Pemerintah sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia tahun 2019.
Tentu pengakuan dan penghargaan ini membuat masyarakat Wonokromo Pleret Bantul pada umumnya dan para aktivis Sate Klathak pada khususnya makin mantap, bersemangat, makin percaya diri dan makin giat dalam beraktivitas memasak Sate Klathak dan mendukung usaha Sate Klathak yang ilmu pembuatan Sate Klathak ini diturunkan atau diwariskan oleh Mbah Ambyah.
Masyarakat Wonokromo perlu mensyukuri hal ini karena Sate Klathak merupakan menu kuliner andalan pada pengembangan wisata di Kabupaten Bantul dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gerakan mempopulerkan Sate Klathak dan gerakan nyate klataknya sendiri saat berkunjung ke lokasi wisata di Bantul perlu didukung ramai-ramai. Tentu, dengan tetap menjaga kelezatannya yang sulit ditandingi.
Lantas bagaimana tradisi makan daging dalam masyarakat Jawa, pernik sejarah, dan sisi teknis, serta pengembangan pasar sate klatak, serta prospek sate klatak itu sendiri di masa depan? Uraiannya ada pada bagian selanjutnya dari buku ini.
Epilog
Usaha Sate Klathak Wonokromo bisa disebut usaha yang produktif bahkan sangat produktif karena merupakan produk komunal.
Komunalitas atau keguyuban serta kerukunan masyarakat Wonokromo menjadi fondasi bagi suksesnya usaha Sate Klathak selama ini.
Bayangkan, pengusaha inti Sate Klathak Wonokromo masih berada dalam jaringan persaudaraan Bani Ambyah. Mbah Ambyah memiliki anak bernama Murtijan, Wakidi, Jazim Zabidi, Dalbi san Jaelani. Muncul generasi anak, cucu kerabat Mbah Ambyah seperti Hasimi, Pak Jam, Pak Darusalam, Pak Jupaeni, Pak Baru, Pak Jono, Mak Adi, Pak Pong, dan masih banyak lagi, Pengusaha Sate Klathak yang tumbuh berikutnya masih punya relasi yang dekat dengan pengusaha inti Sate Klathak ini.
Relasi sosial dan relasi kultural, bukan sekadar relasi ekonomi komersial yang selama ini terbangun membuat mereka memiliki semangat dan visi yang sama, memajukan dan meningkatkan usaha Sate Klathak yang merupakan warisan budaya tak benda leluhur mereka. Di antara pengusaha Sate Klathak ini terjalin silaturahmi dan ukhuwah yang erat dan dalam praktek mereka saling bantu membantu. Orang yang baru merintis usaha Sate Klathak dengan modal minim dibantu untuk memperoleh dua sampil kambing yang mereka pajang di warung Sate Klathak yang baru ini.
Pembeli yang tertarik datang ke warung ini, kemudian merasakan kelezatan Sate Klathaknya bisa menjadi pelanggan tetap. Dan makin banyak pelanggan yang mengunjungi warung Sate Klathak ini berarti makin lama usaha Sate Klathak ini makin maju dan siap menyiapkan stok daging kambing segar satu dua ekor. Demikian seterusnya yang terjadi.
Usaha mencatat, mendokumentasikan dan menampilkan kembali sejarah perkembangan Sate Klathak yang berbasis tradisi makan daging orang Jawa yang dibangun dari alur bangsawan kerajaan dan jaringan ulama wali sampai kiai desa sangat diperlukan. Pengaruh dari pasang naik dunia pariwisata yang menjadikan kuliner sebagai ikon dan primadona wisata serta percepatan dari mobilitas ide dan informasi tentang Sate Klathak melalui media digital juga perlu diperhitungkan. Pada konten tentang Sate Klathak di media digital maupun media cetak inilah sesungguhnya proses dokumentasi yang terus menerus terjadi. Dan konten media tentang Sate Klathak ini sekarang sudah melimpah ruah, dalam bentuk yang terserak-serak dan belum dihimpun atau dibundeli dalam naskah dengan narasi dan konstruksi yang utuh dan komprehensif.
Sebuah buku tentang Sate Klathak bisa berfungsi sebagai himpunan dan bundelan informasi tentang Sate Klathak dengan narasi dan deskrispi yang utuh dan komprehensif. Semua ini dilakukan dalam konteks bersyukur agar dengan bersyukur, Tuhan akan terus menambah karunia-karuniaNya pada bumi dan masyarakat Wonokromo, Yogyakarta dan Indonesia. Semoga demikianlah adanya. Aamin.
Penyusunan buku Kitab Mustika Rasa Sate Klatak Wonokromo ini baru merupakan langkah awal dalam menjaring wawasan, kesadaran, sejarah dan makna kehadiran Sate Klathak di Wonokromo dan sekitarnya. Isinya merupakan narasi trend penting perkembangan Sate Klathak Wonokromo dengan menampilkan banyak spot sejarah, pengalaman, dan kemungkinan masa depan Sate Klathak.
Penyusunan buku ini berdasarkan riset sederhana atas konten media online dan media offline diperkaya pengalaman menikmati sate di Yogyakarta serta menikmati Sate Klathak di Wonokromo, diperkuat dengan analisis yang bersifat kualitatif.
Dalam studi agama, pendekatan yang dipergunakan untuk memahami dan merumuskan masalah dalam usaha dan gerakan Sate Klathak Wonokromo ini bisa disebut semacam ‘pendekatan irfani’ yang lebih menyentuh makna dan hakekat peristiwa di balik seluk beluk dan dinamika usaha Sate Klathak di Wonokromo selama ini, kemudian mengkorfirmasi gejalanya pada ayat-ayat di dalam kitab suci.
Dalam pandangan hidup orang Jawa yang mendalami ajaran agama Islam, kenyataan sehari-hari disebut Jagat kang gumelar dan ayat kitab suci disebut Jagad kang gumulung.
Dialog bolak-balik dua jagad atau arah pemahaman yang bolak balik atas dua jagad itulah yang hasilnya ditulis dalam “Kitab Mustika Rasa Sate Klatak” ini.