Info Sate Klathak Wonokromo
Sate Klathak Wonokromo, Mbah Ambyah, aslinya bernama Hamzah, adalah manusia jenius dari Jejeran Wonokromo sedang para penerusnya adalah manusia kreatif yang bertebaran warungnya di sepanjang jalan Imogiri Timur Yogyakarta dan sekitarnya. Sebagai manusia jenius Mbah Ambyah mampu membuat terobosan budaya, dalam hal ini terobosan kuliner yang berarti dan bermakna bagi masa depan sate kambing.
Ada kemungkinan waktu itu, sekitar tahun 1940 Mbah Ambyah gelisah ketika merasakan dan menyaksikan usaha menjual sate kambing biasa sebagai bisnis dan jumlah konsumen sate kambing biasa, sebagai pasar sate, seperti mengalami kemandekan. Pembeli sate kambing memang ada dan sate kambing tetap laku, tetapi belum menjadi sesuatu yang lebih dari makanan tradisional belaka.
Arus suplai hewan kambing ke para penjual sate kambing pun berjalan lamban, kegiatan beternak kambing dan kegiatan berdagang kambing menjadi kegiatan biasa-biasa saja. Irama bisnisnya mirip musik yang lemah lembut, membuat orang atau generasi muda kurang tertarik untuk menekuninya. Apalagi waktu itu posisi sate kambing masih berada di bawah bayang-bayang gulai kambing.
Mbah Ambyah lantas menginginkan perubahan, bertumpu pada langkah terobosan pada dunia persatean kambing ini. Dia merenung saat melihat ternak kambingnya makin banyak. Mbah Ambyah saat berjualan gulai dan sate kambing juga merenungkan hal ini. Ia berfikir, masakan gulai sudah mapan dan sulit diinovasi. Sulit diubah. Kalau sate masih memungkinkan ada inovasi. Dan inovasi berarti perubahan. Demikian pikir Mbah Ambyah. Tetapi berubah seperti apa yang bisa membuat sate kambing lepas dari bayang-bayang gulai kambing, bisa berdiri sendiri atau tampil menjadi sajian utama, dengan tetap disertai gulai dan tongseng?
Mbah Ambyah fokus memikirkan sate. Sate. Sate. Sate kambing. Sate kambing rasa baru dan penampilan baru!
Ia memperhatikan sate kambing bumbu kecap. Sate biasa. Ia perhatikan tusuk demi tusuk sate kambing yang ditusuk dengan bilah bambu kecil. Saat ada pembeli sate dan gulai datang dia layani dengan sebaik-baiknya. Saat pembeli pergi Mbah Ambyah melanjutkan renungannya. Ia membayangkan sate kambing, sate bumbu yang kadang terlalu banyak bumbunya. Yang lebih terasa justru bumbunya. Sementara itu rasa daging kambingnya justru tenggelam di bawah rasa bumbu.
Nah, ini yang agaknya selama itu kurang disadari oleh penjual sate dan pembeli sate kambing. Rasa daging kambing yang berkurang karena bumbu terlalu banyak.
Byar! Muncul gagasan cemerlang di kepala Mbah Ambyah. Rasa daging kambing harus dimunculkan kembali agar orang yang memakan sate kambing betul-betul merasakan daging kambing. Bukan merasakan bumbu. Berarti bumbunya harus disederhanakan. Sate kambing tanpa bumbu sama sekali? Juga tidak mungkin. Rasanya bisa hambar.
Mbah Ambyah menemukan gagasan untuk tetap membakar sate tetapi dengan bumbu minimal. Penampilan sate sederhana, tetap dengan memunculkan rasa daging kambing yang utama. Bumbunya? Yang paling mudah dan paling tidak mengganggu rasa daging kambing adalah garam. Ya, garam justru bisa memunculkan rasa gurih dari daging kambing.
Hari itu ketika dagangan gulai dan sate kambing dia habis, Mbah Ambyah pulang. Sesampai di rumah dia makin mantap untuk membuat eksperimen atau percobaan untuk membuat sate kambing tanpa bumbu. Hanya diberi garam saja. Gagasan ini dia sampaikan kepada keluarga. Mereka heran dan tidak bisa membayangkan seperti apa rasa sate kambing tanpa bumbu dan hanya diberi garam saja.
Ada yang bilang, wah Mbah Ambyah reko-reko. Mbah Ambyah membantah, dia tidak reko-reko tetapi ingin melakukan terobosan dalam hal memasak sate.
“Mengapa bumbunya tunggal Pak? Hanya garam saja?” tanya anggota keluarga.
“Biar sederhana dan rasa daging kambingnya bisa muncul dengan leluasa.”
Tekad Mbah Ambyah tidak bisa dibendung lagi. Pada keesokan harinya, sebelum dia berangkat ke tempat penjualan gulai dan sate, dia menyalakan arang. Ketika arang telah membara dan menyala dia ambil tusukan daging yang siap dipanggang. Dia pasang daging kambing di atas arang lalu dia taburi garam krosok. Terdengar bunyi kratak-kratak karena garam terkena jilatan api dan panasnya bara. Daging kambing tampak memutih. Dia bolak balik lama sampai agak gosong. Sate model baru diangkat dan dia cicipi bersama anggota keluarga. Benar rasa gurih, lezatnya daging kambing muncul. Tetapi karena untuk membuat empuk daging diperlukan waktu yang agak lama, maka muncul gosong di beberapa tempat, yang ini pasti kurang disukai pembeli.
Hari itu Mbah Ambyah belum berani menawarkan sate model baru kepada pembeli. Sebab masih belum sempurna penampilan dan rasanya. Dia hari itu tetap menjual gulai kambing dan sate kambing biasa seperti hari sebelumnya.
Di waktu luang karena tidak ada pembeli, Mbah Ambyah menggerakkan otaknya. Mencari pemecahan agar sate model baru tetap matang, empuk tetapi tidak gosong.
Byar! Byar! Muncul pikiran baru. Pikiran baru Mbah Ambyah mengatakan bahwa harus ada pemanasan dari dalam daging sate kambing itu sendiri. Tusuk sate dari bambu tidak bisa dipergunakan untuk itu karena bambu bukan penghantar panas. Lantas apa benda yang bisa menjadi penghantar panas maksimal? Tentu besi. Mbah Ambyah tersenyum menemukan jawabnya.
Lantas besi macam apa yang bisa dijadikan penusuk daging kambing untuk dipanggang menjadi sate?
Jeruji. Jeruji sepeda bisa. Ini yang perlu dicoba, demikian pikir Mbah Ambyah. Sepulang dari tempat berjualan gulai dan sate kambing, Mbah Ambyah mampir ke tempat bengkel sepeda.
“Ada jeruji sepeda Kang?”
“Ada. Yang lama atau yang baru?”
“Yang baru.”
“Mau beli?”
“Ya.”
“Untuk apa?”
Mbah Ambyah hanya tersenyum sambil mengeluarkan uang untuk membeli jeruji sepeda itu. Ia pun cepat-cepat pamit pulang.
Sesampai di rumah, jeruji sepeda dia cuci. Dia mengambil persediaan daging kambing yang memang dia siapkan sebelum berangkat berjualan, Daging kambing dia iris dengan potongan lebih besar dibanding dengan irisan untuk sate bumbu biasa. Mbah Ambyah menyalakan anglo dan menusuk daging kambing yang sudah dipotong-potong itu dengan jeruji sepeda. Ketika arang di anglo sudah membara dan menyala, dia menaburkan garam ke atas potongan daging kambing. Kembali terdengar bunyi kratak-kratak yang indah di telinga.
Jeruji sepeda yang menjadi penusuk sate itu cepat menjadi panas dan menghantarkan panas dari dalam dengan cepat bisa membuat daging itu empuk tanpa harus gosong. Wajah Mbah Ambyah berseri ketika satu persatu sate itu mulai matang dan empuk. Dia mengajak anggota keluarga makan bersama dengan lauk sate kambing model baru. Dengan penuh minat anggota keluarga menikmati sate kambing model baru.
Isterinya merasa ada yang kurang. “Pak kalau tanpa kuah rasanya seret ini,” katanya.
“Ya, makan nasi dengan lauk sate gurih seperti ini perlu dilengkapi kuah,” jawab Mbah Ambyah membenarkan kata isteri.
“Seperti sate Ambal itu Pak, sate ayamnya dilengkapi sayur tempe berkuah. Sate kita ini perlu dilengkapi sayur kuah juga Pak,” sahut anaknya.
Mbah Ambyah pergi ke dapur. Menyenduk kuah gulai kambing di kuali lalu dia tuang ke sebuah panci.
“Untuk sementara pakai ini dulu. Besuk saya buatkan sayur kuah yang lebih encer,” kata Mbah Ambyah.
Nasi putih dibasahi dengan kuah gulai kambing. Mereka melanjutkan makan dengan lahap.
Tiba-tiba Mbah Ambyah nyeletuk,”Wah kita memerlukan minum, apa ya?”
“Teh panas yang terbuat dari dekokan teh cap Pecut masih panas karena tekonya terlindung tekosi. Diberi potongan gula batu,” kata isteri Mbah Ambyah menuju dapur mengambil cangkir, lalu teko teh panas dan potongan gula batu, komplet,
Keluarga Mbah Ambyah menyelesaikan makan bersama dengan puas. Rasa sate baru ini pas kalau nasinya diberi kuah dan dilengkapi minuman teh manis. Waktu itu untuk menyimpan panas teh dalam teko, tekonya diselubungi tekosi, tutup teko yang terbuat dari kain yang diberi kapuk di dalamnya, seperti bantal yang berlubang.
Hari berikutnya Mbah Ambyah mulai menjual sate kambing gaya baru di tempat dia biasa berjualan. Dia juga menyiapkan sayur kuah encer. Isterinya membawa perlengkapan minum teh, lengkap dengan cangkir dan gula batu. Para pembeli yang datang mula-mula heran dan ragu ketika ditawari untuk mencicipi sate yang hanya diberi bumbu tunggal, garam. Nasinya dilengkapi kuah encer.
“Coba saja, enak kok. Rasa gurih daging kambingnya terasa,” Mbah Ambyah merayu pembeli.
Betul, rasa gurih dan aroma harum daging kambing terasa sekali. Apalagi nasinya dibasahi dengan kuah encer. Dilengkapi minum teh panas manis bergula batu.
“Waduh, enak sekali Mbah sate gaya barunya, Ini namanya sate apa Mbah?” tanya pembeli itu.
Mbah Ambyah kebingungan, Isterinya celingukan melihat sekeliling, lalu tersenyum,
“Pak, bagaimana kalau sate kita ini kita beri nama Sate Klathak. Kan waktu satenya dibakar berbunyi kratak-kratak, dan lagi dekat tempat kita berjualan ada pohon melinjo, Buahnya bernama klatak kan bertebaran di sini. Lihat itu klatak,” kata isteri Mbah Ambyah.
Mbah Ambyah setuju dengan usul isterinya.
“Mas, sate gaya baru ini kita beri nama Sate Klathak,” kata Mbah Ambyah kepada pembeli satenya.
“Sate Klathak Mbah? Wah bagus namanya. Akan saya sampaikan kepada teman-teman penggemar sate,” kata pembeli itu.
Mulai hari itu Mbah Ambyah berjualan Sate Klathak. Tentu dia masih juga menjual gulai kambing, tongseng dan sate kambing bumbu biasa. Dan pembeli yang ingin menikmati lezatnya Sate Klathak makin lama makin banyak. Sate Klathak makin dikenal oleh masyarakat dan masuk dalam daftar jenis sate yang ada. Nama Sate Klathak masuk dalam buku dari Departemen Pertanian yang terbit tahun 1967.
Mbah Ambyah menurunkan ilmu membuat Sate Klathak kepada anak cucu dan keponakannya. Mereka menjadi pewaris Sate Klathak. Ternyata para pewaris ilmu pembuatan Sate Klathak ini adalah manusia-manusia kreatif. Manusia kreatif dari Wonokromo. Mereka bisa menetapkan standar daging kambingnya berasal dari kambing berumur berapa bulan. Mereka bisa menentukan standar cara memotong daging dengan pisau standar seperti apa, sehingga bisa menghasilkan potongan daging kambing yang pas untuk dibuat sate klatak. Mereka juga bisa menentukan standar taburan garam sebanyak berapa jimpit, menentukan standar waktu untuk membakar daging kambing sampai empuk. Manusia kreatif dari Wonokromo ini meneruskan kebiasaan Mbah Ambyah menyuguh pembeli dengan sajian teh panas gula batu.
Sayur kuah encer untuk membasahi nasi pun juga dimasak dan disajikan kepada pembeli. Meski ada resep standar utama dalam memasaknya, masing-masing pewaris Sate Klathak Mbah Ambyah ini membuat sedikit variasi sesuai dengan selera pembeli. Bahkan ada yang membuat variasi, sate goreng seperti yang bisa dinikmati di tengah pasar di tempat penjual sate Pak Bari..
Sate Klathak makin mudah ditemukan di sekitar Wonokromo, melengkapi jualan sate bumbu dan sate lainnya. Pergerakan pasar klatak berlangsung landai sampai kemudian menemukan momentum menjadi booming Sate Klathak.
Booming sate klatak inilah yang membuat Sate Klathak bisa menasional seperti sekarang sampai mendapat pengakuan secara nasional oleh Pemerintah sebagai WBTB atau Warisan Budaya Tak Benda tahun 2019. Sebuah pengakuan yang perlu disambut baik dan disyukuti oleh masyarakat Wonokromo.