Info Sate Klathak Wonokromo
Sate Klatak Wonokromo, Pada zaman dahulu, pada kurun berpuluh tahun mendekati satu abad, peta penjual gulai kambing, lengkap dengan sate kambing dan tongseng kambing di Yogyakarta bisa dilacak dengan mudah. Pada komunitas santri atau masyarakat kaum santri di Yogyakarta punya legenda penjual gulai dan sate kambing sendiri-sendiri.
Masyarakat santri penghuni bekas ibukota Mataram Islam, Kotagede, punya legenda penjual gulai dan sate bernama Pak Bahir yang berjualan di bekas tempat kediaman raja di kampung Ndalem, persisnya di dekat tempat penyimpanan watu canteng. Di Kotagede juga ada penjual gulai dan sate kambing Pak Slamet yang berjualan di jalan Mondorakan Kotagede dan rumahnya juga kampung Ndarakan alias Mondorakan. Diperkirakan di kampung ini dulunya ada rumah atau Ndalem Kepatihan tempat Ki Patih Mondoroko alias Ki Juru Mertani tinggal. Penjual gulai dan sate kambing Pak Slamet lokasinya persis di seberang makam besar peninggalan zaman Mataram Islam Kotagede. Makam ini dikenali sebagai makam seorang Jagal resmi kerajaan Mataram Islam Kotagede dan meninggalkan jejak di belakang makam sebuah kampung bernama kampung Jagalan dan sekaligus menjadi nama sebuah desa atau Kelurahan bernama Kelurahan Jagalan yang dulu masuk dalam Kecamatan Kotegede Surakarta (Kotagede Ska), yang setelah ditukar guling, menjadi bagian dari Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul.
Makam besar di depan warung gulai dan sate Pak Slamet atau Pak Slamet Gule sekarang sudah dibongkar, jenazahnya dipindah ke makam Semoyan Baru dan di bekas lokasi makam dibangun Masjid Al Huda, gedung pertemuan dan kompleks administrasi kantor Kelurahan Jagalan. Di lokasi sekitar sini dulu dihuni orang kaya yang dikenal sebagai orang Kalang Muslim yang bersahabat erat dengan para ulama Wonokromo dan masyarakat Wonokromo.
Kemungkinan besar orang Kalang Muslim ini menjadi penggemar masakan gule kambing dan sate kambing yang lezat yang dimasak oleh ahli masak gulai dan sate dari Wonokromo, tempat asal usul munculnya sate klatak.
Di dekat masyarakat santri Kauman Yogyakarta, kampung yang amat dekat dengan kraton Kasultanan Yogyakarta dulu ada warung gulai dan sate kambing Pak Kembar yang lokasinya di selatan jagang Kauman, di jalan Ngasem. Selain gulai dan sate, masakan Pak Kembar yang terkenal lezat adalah tongsengnya. Di Alun-alun Utara ada penjual sate kambing bernama warung sate Pak Amat yang melayani pembeli dari keluarga Kraton dan masyarakat sekitarnya. Di masyarakat santri Kuncen Yogyakarta, pada ujung jalan menuju Makam Pakuncen ada penjual gulai, sate dan tengkleng Pak Dakir yang terkenal dan menjadi tujuan jajan para seniman seperti Amri Yahya dan Azwar AN dan teman-temannya. Lokasi warung Pak Dakir dekat Pasar Kuncen yang waktu itu merupakan pasar hewan di Kota Yogyakarta bagian barat.
Para pedagang hewan dan para pengunjung pasar hewan menggunakan warung Pak Dakir untuk makan siang dan untuk bertransaksi. Mereka bisa berembug soal harga hewan ternak seperti kambing dan lembu di dalam warung sambil menikmati sajian gulai kambing, tongseng, tengkleng dan sate kambing yang lezat, dilengkapi minuman teh nasgitel.
Waktu itu kampung Kuncen juga dekat sekali dengan kampus ASRI atau Akademi Seni Rupa Indonesia. Banyak dosen, mahasiswa, seniman senirupa dan karyawan kampus menjadi pelanggan tetap warung Pak Dakir.
Di Karangkajen yang penduduknya dikenal sebagai kaum santri kota, ada warung yang jelas-jelas bernama Warung Sate Karangkajen yang sate sandung lamurnya terkenal empuk menghanyutkan lidah. Penjual sate ini belum diketahui keturunan penjual sate dari mana. Yang penting, satenya empuk dan enak. Sedang di Kauman Pakualaman, tepatnya di jalan Masjid dekat Jamu Ginggang ada Warung Sate Pak Jono yang menyedikan sate kambing bumbu dengan daging tanpa lemak. Masakan iga kambingnya juga lezat.
Di lingkungan masyarakat santri Piyungan, di sekitar Payak pun ada penjual gulai dan sate kambing terkenal. Dan di daerah santri bernama Kalangan dan Wiyoro Kecamatan Banguntapan dikenal dengan Warung Sate Wiyoro yang cukup lezat sajiannya. Untuk kawasan Yogyakarta barat, di jalan Godean ada penjual sate kambing muda yang sampai hari ini masih ramai pembeli.
Tentu, kawasan selatan kota Yogyakarta, di kawasan santri bekas ibukota kerajaan Mataram Islam zaman Sultan Agung dan Amangkurat Agung, yaitu kawasan Kerto, Pleret, Wonokromo dan Blawong banyak penjual sate kambing lengkap dengan gulai kambing dan tongseng kambing.
Yang menjadi pertanyaan penting adalah, kenapa di masyarakat-masyarakat santri di bekas pusat kekuasaan kerajaan Mataram Islam dan kerajaan pewarisnya tersebut, ditambah lokasi pesantren tempat para kiai dan ulama berada, muncul para orang dewasa bahkan anak-anak dan remaja yang menjadi penggemar masakan yang terbuat dari daging kambing? Karena masyarakat santri akrab dengan tradisi aqiqah dan menyembelih hewan kurban setiap Hari Raya Idul Adlha atau Idul Qurban.
Pada saat melaksanakan aqiqah dianjurkan membagi masakan masak berupa gulai kambing dengan kuah gurih yang banyak.
Dalam perkembangan zaman, orang yang mengadakan upacara aqiqah selalu menyertakan sate kambing bakar sebagai pelengkap. Sedang saat Idul Adlha, para penerima daging kurban di kampung-kampung dan di desa-desa cenderung membakar atau memanggang daging kambing menjadi sate kambing dengan bumbu ketumbar atau bawang dicampur gula Jawa atau kecap.
Siang atau sore sehabis masyarakat santri menyelenggarakan shalat Idul Adlha dan panitia kurban telah selesai tugasnya menyembelih hewan kurban, menguliti, dan memotong serta membagi daging kurban, maka bau asap pemanggangan sate merebak di mana-mana. Seolah-olah kampung dan desa berubah menjadi kampung dan desa sate. Semua warga menjadi terlatih makan sate dan diam-diam menjadi penggemar makan makan sate. Mereka potensial menjadi konsumen sate yang laten. Termasuk menjadi konsumen sate klatak.
* * *
Dari uraian di atas dapat disimpulkan adanya tiga alur sejarah sate yang menarik. Pertama, dari alur tradisi makan daging di lingkungnan istana. Di lingkungan istana, daging diperloleh lewat berburu di hutan perburuan seperti hutan di sekitar panggung Krapyak atau di hutan sekitar Krapyak Utara Yogyakarta dan hutan perburuan lainnya. Hewan hasil perburuan ini kemudian dijadikan daging panggang utuh.
Dalam perkembangan selanjutnya, proses memperoleh daging yang sudah dipotong sesuai kebutuhan masak untuk sajian andrawina atau pesta besar kerajaan dilakukan oleh ahli masak yang berasal dari warga desa sekitar ibukota kerajaan. Para ahli masak daging ini ini kemudian menurunkan ilmu memasak daging ke anak cucu yang kemudian mereka mencari uang dengan membuka warung gulai dan sate.
Pada zaman berikutnya para bangsawan dan warga sekitar kraton menjadi konsumen sate. Termasuk sate kambing yang dijual di sekitar tempat kediaman mereka.
Alur sejarah kedua, dari tradisi makan daging berasal dari zaman para wali yang bergelar Sunan dan para penerus wali yang bergelar Ki Ageng serta para penerusnya lagi yang bergelar Kiai atau Romo Kiai. Mereka diikuti oleh para santri dan masyarakat di lingkungan pesantren. Di lingkungan ini ada kegiatan keagamaan bersifat publik, yaitu penyelenggaraan Shalat Idul Adlha yang diikut penyembelihan hewan kurban, kemudian dagingnya dibagi kepada anggota masyarakat. Kegiatan ini terbukti bisa mengenalkan kepada masyarakat akan pentingnya makan daging sebagai sumber protein hewani. Setelah mengenal lezatnya daging kambing atau domba, masyarakat pun menjadi penggemar makan daging kambing atau domba.
Fakta adanya kegiatan keagamaan bersifat publik di atas dalam fakta sosial masyarakat santri, dilengkapi dengan hadirnya kegiatan keagamaan yang bersifat domestik (keluarga) dan privat (pribadi), yaitu kegiatan aqiqah ketika ada bayi lahir. Setelah sebuah keluarga mendapat karunia dari Tuhan berupa bayi yang lahir di tengah keluarga, maka dalam ajaran agama Islam dianjurkan untuk menjalankan kegiatan atau upacara aqiqah. Yaitu menyembelih kambing yang dagingnya dimasak menjadi gulai kemudian dibagikan kepada para tetangga.
Pada perkembangan berikutnya, yang dibagi saat aqiqah kepada tetangga dan saudara, selain gulai kambing masak sudah dilengkapi dengan nasi, kerupuk dan sate. Sate menjadi menu tambahan pada makanan hantaran aqiqah. Mereka yang menerima hantaran dengan senang hati menerima dan menikmati sate sebagai menu tambahan makanan aqiqah ini.
Alur sejarah ketiga, yang berkaitan dengan sejarah tradisi makan daging di masyarakat yang berujung pada munculnya warung sate, diawali ketika ahli masak atau keturunan ahli masak daging yang rajin melayani raja dan bangsawan pendukungnya, atau para ahli masak atau keturunan ahli masak daging yang melayani para Sunan, Kia Ageng, Kiai atau Romo Kiai dan keluarga Gus, kemudian mengkomersialkan keahliannya dengan membuka warung gulai kambing dan melengkapi sajian warungnya dengan masakan tongseng, sate dan tengkleng.
Identitas warung ini adalah warung gulai karena menu utamanya adalah gulai kambing dengan nasi, irisan brambang, kubis, lombok dan dilengkapi kerupuk. Tongseng dan sate menjadi menu pelengkap.
Pada perkembangan zaman berikutnya terjadi perubahan dan pembalikan identitas warung. Keturunan pemilik warung gulai kambing kemudian memproklamirkan dirinya sebagai pemilik warung sate dan sate menjadi menu utama. Pada warung yang sudah memiliki brand atau identitas sebagai warung sate ini masakan gulai dan tongseng menjadi menu tambahan, bukan menu utama. Ini terjadi di Yogyakarta, terutama setelah terjadinya serbuan massif warung sate ayam Madura di pinggir jalan dan berkelilingnya penjual sate ayam Madura di dalam kampung.
Penjual gulai kambing merasa terdesak posisinya dan melakukan arus balik dengan membalikkan identitas warungnya menjadi warung sate kambing. Jadi hadirnya warung sate ayam Madura menjadi berkah tersendiri. Warung gulai bisa mengimbangi munculnya sate ayam Madura dengan mengibarkan bendera warungnya sebagai dan menjadi warung sate kambing.
Para penggemar daging kambing pun di kemudian hari lebih mengenal warung sate ketimbang warung gulai. Kemudian muncul warung tengkleng kambing dari arah timur, walau arusnya tidak sederas warung sate ayam Madura.
Pengetahuan dan pemahaman akan alur sejarah dan sosiologi munculnya warung sate kambing ini penting untuk dimiliki agar kita tidak mengalami disorientasi kegiatan di masa depan. Bahwa munculnya warung sate kambing sudah on the right track atau berada pada rel sejarah yang benar. Termasuk ketika dari kalangan aktivis dan penjual sate kambing muncul fenomena Sate Klathak yang sepertinya mendesak hadirnya sate kambing biasa, sate kambing bumbu kecap atau sate kambing pedas karena taburan bubuk merica.
Muncul dan berkembangnya Sate Klathak menjadi logis karena perkembangan bisnis sate menuntut adanya kekhasan tersendiri sehingga bisnis sate menjadi suatu hal yang menonjol dan menjadi merk dagang sate khas Wonokromo dan Yogyakarta. Apalagi dalam perkembangan dunia pariwisata Sate Klathak dikemas dan diwacanakan sebagai kuliner unggulan dan karena memiliki sejarah panjang layak disebut sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang menuntut selalu ada gerak pelestarian, pemanfaatan dan pengembangannya.
Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa tradisi memasak sate khas Wonokromo Yogyakarta tumbuh sendiri dan tidak berkaitan dengan tradisi makan daging kambing yang tumbuh di Solo yang dipengaruhi tradisi makan daging kambing yang dikembangkan warga keturunan Arab Yaman di kawasan Pasar Kliwon.